Sejarah
Aceh, sangatlah luas dan beragam. Tidak hanya “tegak” melawan penjajahan,
melainkan juga kisah-kisah romantisme yang eksotik. Sejarah Aceh, tidak hanya
terkenal dengan kekayaan alam yang
berlimpah, melainkan juga pelajaran-pelajaran religius yang telah
mengaliri sebagian besar nusantara ini. Sejarah Aceh, tidak hanya terpaut
ribuan tahun silam, melainkan juga terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan
dengan kehidupan kita saat ini. Mulai dari konflik berdarah antara Pemerintah
Aceh dan Indonesia, melainkan juga, sejarah bagaimana alam merenggut ratusan
ribu jiwa orang Aceh. Semua itu tidak pernah hilang dan lekang dari ingatan.
Semuanya masih tersimpan rapi dalam hati dan jiwa masyarakat Aceh. Semuanya
masih tersimpan di atas-atas tanah yang telah membisu. Walau begitu, dari
kebisuan-kebisuan itulah, Aceh berjalan bersama retasan-retasan sejarah.
Duduk santai menikmati senja
di Lapangan Blang Padang, ibarat menatap luasnya sejarah Aceh yang tak mampu
ditelusuri seluruhnya. Lapangan seluas delapan hektar ini tak hanya menjadi
saksi perjuangan bangsa Aceh, melainkan juga saksi betapa dahsyatnya tsunami
yang melanda Aceh pada tahun 2004 silam.
Blang Padangmasih menjadi
lokasi favorit untuk melepas lelah atau sekedar bersantai ria. Ruang Terbuka
Hijau (RTH) yang terletak di jantung Kota Banda Aceh tersebut memang nyaman
untuk bersantai melepas kejenuhan.
Lokasinya strategis dan
hanya terpaut beberapa puluh meter dari Masjid Raya Baiturrahman. Kursi-kursi
plastic beratapkan langit bertebaran di lapangan seluas 8 hektar tersebut.
Pada masa kerajaan Aceh di
pimpin oleh Sultan Iskandar Muda, saat itu, Lapangan Blang Padang merupakan
areal persawahan rakyat. Lalu, Sultan mengambil alih dengan membeli lokasi
persawahan tersebut. Tidak lama, karena, setelah itu Sultan Iskandar Muda mewakafkannya
kepada imam Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Mengapa Blang Padang di
wakafkan kepada imam Mesjid Raya Baiturrahman? Dahulu, Sultan Iskandar Muda
melihat jika Imam Masjid Raya tidak di gaji. Sedangkan satu sisi, seorang imam
juga harus memenuhi kebutuhan keluarganya. Oleh sebab itu, wakaf ini tidak lain
untuk di jadikan lahan sawah atau kebun untuk mencukupi kehidupan imam dan
keluarganya. Jadi, secara histori, tanah ini merupakan tanah musara (wakaf).
Pada tahun 1800-an,
petakan-petakan sawah Blang Padang ini ditimbun sehingga menjadi lapangan.
Kemudian oleh Belanda Lapangan ini dimanfaatkan sebagai lapangan upacara dan
berbagai kegiatan lainnya. Bahkan, pada masa pimpinan Syamaun Gaharu dimana
pada saat itu beliau merupakan seorang panglima daerah militer Aceh (KDMA),
sebuah stadion di bangun di atas lapangan ini. Namun terpaksa dibongkar pada
tahun 1891. Penggalan-penggalan sejarah Blang Padang ini terpapar rapi dalam
catatan K.F.H Van Langen. Sekitar tahun 1888, Van Langen mencatat bagaimana
awal mula sejarah Blang Padang. Catatan-catatan itu pun akhirnya terangkum
dalam sebuah buku yang berjudul;“De
Inrichting van het Atjehsche Staats- bestuur onder het Sultanaat”.
Komentar
Posting Komentar